MELINDUNGI HAK KONSUMEN
UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL
MELINDUNGI HAK KONSUMEN
Undang-Undang ini juga mengatur soal perumusan hak dan kewajiban
pelaku usaha dalam proses permohonan sertifikat halal,biaya sertifikasi halal
dibedakan kepada pelaku usaha yang di tentukan Undang-Undang.
Rapat Paripurna DPR RI pada 25 September 2014 telah menyetujui rancangan Undang-undang jaminan produk halal (JPH) menjadi undang-undang. Hampir sebulan kemudian,tepatnya 17 oktober 2014, Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, mengesahkan Undang-undang JPH.
Pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Ham Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amir Samsudin telah mengundangkan Undang-Undang tersebut sebagai Undang-undang Nomer 33 Tahun 2014.
Undang-Undang JPH yang terdiri atas 68 pasal itu menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan diwilayah Indonesia wajib bersertifikat Halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal. Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut Undang-Undang ini, di bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk Perwakilan di daerah.
Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 itu menyebutkan, ketentuan mengenai tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH di atur dalam Peraturan Presiden. BPJPH berwenang antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan Norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat Halal pada produk luar negeri dan melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri. Sedangkan pasal 7 Undang-Undang JPH menyebutkan, ”dalam melaksanakan wewenang sebagai mana dimaksud, BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksaan Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).”
Undang-Undang JPH juga mengatur soal perumusan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam proses permohonan sertifikat halal, biaya sertifikat halal dibedakan kepada pelaku usaha yang ditentukan Undang-Undang. Kewenangan MUI yang selama 26 Tahun terakhir menjalankan proses penetapan standar pemeriksaan produk halal, di Undang-Undang JPH ini diperluas dengan mengakreditasi lembaga-lembaga pemeriksaan halal yang didirikan pemerintahan maupun masyarakat.
Terkait dengan kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia, mulai berlaku lima tahun sejak Undang-Undang ini di syahkan. Sebelum aturan ini berlaku, jenis produk yang bersitifikat diatur secara bertahap dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Mekanisme Sertifikasi
Undang-Undang JPH menyebutkan, permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh auditor halal dilokasi usaha pada saat proses produksi. Pasal 31 Ayat (3) menyebutkan ,”dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian dilaboratorium”. Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar sidang fatwa halal untuk menetapkan kehalalan produk paling lama 30 hari kerja sejak di trimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH itu . Keputusan penetapan halal produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadikan dasar penerbitan sertifikat halal.
Pasal 34 ayat(2) menyebutkan,”dalam hal sidang fatwa halal menyatakan produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan sartifikat halal kepada pelaku usaha di sertai dengan alasan ,“ sementara yang dinyatakan halal atau sidang fatwa halal MUI akan menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan sartifikat halal paling lama tujuh hari terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI .
Undang-Undang JPH juga menyebutkan bahwa pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk,bagi yang tertentu dari produk, dan /atau tempat tempat tertentu pada produk. Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Sertifikat halal berlaku selama empat tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir.
Pembentukan BPJH
Sesuai amanat Undang-UndangJPH, Pemerintah berencana membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai Badan sertifikasi. Dirjen Dimas Islam Kementrian Agama Machasin mengatakan, “BPJPH efektif setelah 3 tahun Undang-Undang JPH di tetapkan. Menurut Machasin, Ketetapan Halal suatu produk tetap pada wewenang MUI. “ Masyarakat bisa saja membuat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), tetapi lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika majelis ulama indonesia (LPPOM MUI) sudah berpengalaman selama 26 tahun, sehingga lebih baik bekerja sama dengan LPPUM MUI. Ia menilai keberadaan LPPUM MUI sudah memberi banyak manfaat dan kerja sama dengan pemerintah atau kementrian agama juga sudah terjalin baik. Sementara ketua umum MUI Din Syamsudin mengatakan, keberadaan LPPUM MUI merupakan tuntunan sejarah.” Ada kerja sama dengan pemerintah, sseyogyanya MUI yang di beri kewenangan, karena wilayah keagamaan ada di MUI,” ujar Din.
Din mengatakan, sampai sekarang LPPOM MUI sudah mengeluarkan 125 ribu sertifikat halal. Dari 124 ribu itu, masih di bawa 50 persen produk yang beredar di indonesia. Direktur LPPOM MUI Ir Lukmanul Hakim Msi menambahkan, sejarah pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yang disusun dan di bahas pada tahun 2009 dan 2014. UU tersebut merupakan usulan Pemerintah (Kementrian Agama), bersama-sama dengan MUI serta unsur lainnya.
Ia menilai, halal tidak boleh terinterfensi oleh kepentingan politik, kekuasaan maupun kepentingan perdagangan. “halal semestinya tidak terkurung oleh kepentingan lainya. Urusan halal harus jelas, halal atau haram. Tidak ada halal yang setengah setengah. ini untuk melindungi hak konsumen untuk mendapatkan produk halal,”ujarnya. Dalam melaksanakan tugasnya LPPOM MUI telah menggandeng badan standartdisasi Nasional (BSN) untuk bekerja sama dalam mengembangkan sistim akreditasi dan sertifikasi halal guna meningkatkan kepercayaan umat. Pada bulan juli 2014 dicapain kesepakatan untuk melalui penyusunan standart nasional indonesia (SNI) sistim jaminan halal dengan mengadopsi halal asuransi sistim (HAS) 23000 – MUI. Wakil ketua komisi VIII DPR RI Ledia Hanifah mengatakan pihaknya berkomitmen mendukung segera membentuknya BPJPH sesuai amanat Undang-Undang JPH untuk melindungi hak konsumen mendapatkan produk halal. “Undang-Undang Jaminan produk halal merupakan Undang-Undang yang mengatur menyediakan obat, kosmetik, makanan, serta miniman yang mengunakan bahan halal serta di proses secara halal dari hulu ke hilir,” tegas Lesdia Hanifa.
Jadi, katanya, butuh pengakuan dari BPJH dan MUI agar suatu produk di nyatakan halal. Dari MUI berupa fatwa tertulis, sedangakan dari BPJH berupa sertifikat. “Dalam pelaksanaanya, sertifikat BPJH tidak boleh keluar bila tidak ada pernyataan halal dari MUI,”katanya. Pengakuan dari 2 lembaga itu penting karna ada berbrapa negara yang hanya mempercayai pengakuan dari MUI. Sementara, beberapa negara lainya mempertanyakan legalitas MUI yang bukan lembaga negara.
“Kami meminimalisasi masalah ini dengan adanya regulasi pernyataan halal harus ada dari BPJH serta MUI. Merka jadi satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan,”kata Ledia.
Ledia mengatakan komisi VIII telah membahas soal sinkronisai dua lembaga yang mengambil andil dengan pengakuan halal tersebut.”Sertifikasi nasional sedang menyiapkan peraturan pemerintah bersama Kementerian Agama. Jadi, ini lintas sektor,”ujarnya.( Arief Mujayanto )