Lainnya
02 Maret
2025
JALAN SUNYI MEMBANGUN MEMORI: Refleksi Singkat Akuisisi Arsip Statis

Seremonial serah terima arsip statis dari pencipta arsip kepada lembaga kearsipan biasanya diselenggarakan secara meriah dan dihadiri oleh para pejabat serta banyak orang. Ternyata di balik seremonial itu ada proses penilaian arsip yang dilakukan untuk menentukan apakah suatu arsip memiliki nilai guna sekunder atau memiliki nilai guna berkelanjutan sehingga layak disimpan selamanya di lembaga kearsipan. Suatu kerja intelektual yang kerap kali luput dari perhatian dan kalah dari hiruk pikuk seremonial, tetapi sesungguhnya sangat penting dalam menyusun bangunan memori kolektif. Karena itu nampaknya tidak keliru jika kerja intelektual itu terasa berjalan di jalan sunyi membangun memori.
Penilaian arsip adalah bagian dari kegiatan akuisisi arsip statis, yaitu proses penambahan khazanah arsip statis pada lembaga kearsipan yang dilaksanakan melalui kegiatan penyerahan arsip statis dan hak pengelolaannya dari pencipta arsip kepada lembaga kearsipan. Tulisan ini mencoba merefleksikan secara singkat tiga tantangan pada saat melakukan penilaian arsip itu.
Tiga tantangan
Pertama, bagi arsiparis yang melakukan penilaian arsip maka akan menemukan begitu banyak regulasi sebagai pedoman. Penulis sendiri mencatat setidaknya ada lebih dari sepuluh peraturan mulai dari Undang-undang dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kearsipan, Peraturan Kepala (Perka) ANRI tentang Tata Cara Akuisisi Arsip Statis, Perka ANRI tentang Pedoman Penyusutan Arsip dan seterusnya. Teramat penting dari semua regulasi itu adalah Jadwal Retensi Arsip (JRA) milik pencipta arsip itu sendiri.
Dengan menggunakan JRA maka arsiparis akan terbantu dalam menentukan apakah suatu arsip itu memiliki nilai guna sekunder atau tidak. Caranya dengan melihat nasib akhir arsip pada kolom keterangan. Apabila nasib akhirnya tertulis permanen maka arsip tersebut cenderung memiliki nilai guna sekunder. Sebaliknya, apabila nasib akhirnya musnah maka arsip tersebut “cenderung” dapat dimusnahkan.
Mengapa menggunakan kata “cenderung”? Karena di beberapa kasus ada arsip yang bernasib akhir musnah di JRA, tetapi karena dianggap memiliki nilai guna kesejarahan maka arsip tersebut bernasib akhir permanen. Misalnya, arsip rekam medis tokoh nasional atau pasien 01 pandemi. Karena dianggap akan memberikan informasi bernilai guna kesejarahan sehingga arsipnya disimpan di lembaga kearsipan.
Artinya, dalam penilaian arsip, JRA bukan satu-satunya alat yang digunakan dalam menentukan nasib akhir arsip. Objektivitas arsiparis dalam menilai suatu arsip juga menentukan terutama ketika dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Untuk menghindari subjektivitas, penilaian sempit atau “selera pribadi” arsiparis dalam menilai arsip maka arsiparis perlu memperluas cakrawala pengetahuan yang dimilikinya. Caranya bisa dengan memahami tugas dan fungsi pencipta arsip, mempelajari peristiwa bersejarah atau diskusi dengan arsiparis lain.
Kedua, di banyak kasus ada arsip yang bernilai guna sekunder atau memiliki nilai guna keberlanjutan tetapi tidak memberkas. Misalnya, suatu produk hukum berupa Surat Keputusan Menteri terkadang hanya ada dalam bentuk arsip final-nya, sedangkan arsip naskah akademik, draf awal, dan lain-lain yang semestinya masuk di dalam berkas tersebut tidak diketahui keberadaannya. Umumnya pencipta arsip tidak mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi.
Tentu saja arsip yang tidak memberkas akan menyebabkan informasinya tidak utuh. Dalam situasi seperti itu arsiparis dituntut untuk mengambil keputusan teknis apakah menyelamatkan arsip sebagaimana adanya atau membiarkannya disimpan kembali oleh pencipta arsip. Pilihan pertama biasanya lebih dipilih dibandingkan yang kedua mengingat penyelamatan arsip menjadi prioritas dari kegiatan akuisisi arsip statis sekaligus menghindari risiko hilangnya arsip tersebut. Barangkali itulah alasan mengapa di lembaga kearsipan terkadang suatu arsip hanya ada secara parsial atau tidak memberkas.
Terkait dengan masalah tersebut maka dibutuhkan perhatian yang lebih serius dan tindakan yang lebih terencana dalam melaksanakan pembinaan kearsipan khususnya kepada unit pengolah yang menciptakan arsip. Unit kearsipan di lingkungan pencipta arsip perlu memastikan agar pengelolaan arsip dinamis di setiap tahapan baik itu penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan, serta penyusutan arsip sesuai dengan kaidah pengelolaan arsip dinamis yang baik dan benar. Unit kearsipan sebagai pembina kearsipan di lingkungan pencipta arsip memiliki peran sentral dan tanggung jawab dalam pengelolaan arsip dinamis termasuk menjamin memberkasnya arsip yang memiliki nilai guna keberlanjutan sehingga arsip tersebut adalah arsip yang autentik, utuh dan terpercaya ketika diserahkan kepada lembaga kearsipan.
Ketiga, adalah tantangan yang terkait dengan pengelolaan arsip elektronik. Sebenarnya ada banyak sekali isu terkait pengelolaan arsip elektronik mulai dari penciptaan, pemanfaatan, keamanan, autentisitas dan lain sebagainya. Sesuai dengan tema dari tulisan ini maka penulis hanya akan menyinggung beberapa isu terkait dengan akuisisi atau penyelamatan arsip elektronik yang memiliki nilai keberlanjutan.
Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada sistem elektronik yang digunakan secara otomatis untuk menilai apakah suatu arsip elektronik perlu disimpan selamanya sebagai arsip yang memiliki nilai keberlanjutan atau apakah suatu arsip elektronik tersebut dapat dimusnahkan karena tidak memiliki nilai guna bagi pencipta arsip atau masyarakat secara luas. Karena itu, penilaian arsip secara manual oleh arsiparis tetap dibutuhkan.
Berbeda dengan arsip konvensional yang fisik arsipnya terbiasa ditemui oleh arsiparis, untuk arsip elektronik seorang arsiparis harus mampu atau setidaknya tau mengenai sistem dan metadata arsip elektronik tersebut.
Terkait dengan pengenalan terhadap sistem dan metadata arsip elektronik maka pengelolaan arsip elektronik berarti juga termasuk menjamin identitas dan integritas arsip elektronik yang akan disimpan selamanya di lembaga kearsipan karena memiliki nilai keberlanjutan sebagai memori kolektif bangsa. Identitas di sini berarti keseluruhan karakteristik suatu dokumen yang unik mengidentifikasinya serta membedakannya dengan dokumen atau arsip lainnya, sedangkan integritas adalah menjamin bahwa arsip elektronik memiliki kualitas yang lengkap dan tidak berubah dalam setiap komponen pentingnya (Peraturan Kepala ANRI No 20 Tahun 2011).
Masalahnya adalah bagaimana menyerahkan arsip elektronik kepada lembaga kearsipan tetapi sekaligus menjamin bahwa identitas dan integritas arsip elektroniknya tetap terjaga. Sekali lagi, sepertinya belum ada sistem elektronik yang digunakan untuk membantu hal tersebut. Akibatnya, penyerahan arsip elektronik dilakukan dengan menyerahkan arsip tersebut dalam media simpan flashdisk, harddisk atau compact disc (CD).
Dengan demikian diperlukan pengelolaan arsip elektronik di pencipta arsip yang memenuhi kaidah-kaidah yang sesuai dengan pedoman pengelolaan arsip elektronik yang berlaku. Di sisi pencipta arsip maka unit kearsipan di lingkungan pencipta arsip perlu melaksanakan kegiatan pembinaan pengelolaan arsip elektronik kepada unit pengolah agar arsip elektronik terjamin identitas dan integritasnya mulai dari saat penciptaan sampai dengan penyerahan arsip elektronik yang memiliki nilai keberlanjutan kepada lembaga kearsipan.
Di sisi lembaga kearsipan, saat ini sudah ada Peraturan ANRI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Arsip Elektronik yang di dalamnya mengatur mengenai akuisisi arsip elektronik. Namun, menurut penulis aturan tersebut barangkali belum cukup memberikan pengetahuan secara teknis. Keberadaan SNI 27037:2014 tentang Pedoman identifikasi, pengumpulan, akuisisi dan preservasi bukti digital barangkali dapat membantu secara lebih teknis dan sedikit banyaknya mungkin juga dapat diadopsi.
Dalam konteks penyelamatan arsip elektronik yang menjadi bukti digital, untuk menjamin integritas suatu arsip elektronik diperlukan tiga prinsip, antara lain: verifikasi hash, dokumentasi dan write blocker. Verifikasi hash adalah proses yang dilakukan untuk memastikan integritas data dengan memverifikasi bahwa data tidak dirusak atau diubah. Hash itu singkatnya adalah kode alfanumerik yang digunakan untuk mewakili kata, pesan atau data. Dokumentasi berarti mendokumentasikan setiap langkah penyelamatan arsip elektronik. Write blocker adalah perangkat yang digunakan untuk mendapatkan akses read-only untuk menghindari kerusakan data yang ada di dalam arsip elektronik tersebut.
Penutup
Ketiga tantangan di atas hanya sedikit dari banyak tantangan yang muncul ketika melakukan penilaian arsip. Sebagaimana judulnya, tulisan ini hanya refleksi singkat dan tidak bermaksud menunjukan banyak tantangan lainnya itu. Ketiga tantangan di atas menuntut peningkatan kapasitas pengetahuan arsiparis dalam melakukan penilaian arsip baik itu arsip konvensional maupun elektronik.
Dengan demikian, meskipun terkesan berada di jalan sunyi, kenyataannya penilaian arsip sebagai bagian dari akuisisi arsip statis adalah hal fundamental dalam membangun memori kolektif dan sudah sepantasnya mendapatkan perhatian yang tidak kalah penting dari seremonial serah terima arsip statis.
Disadur dari Majalah ARSIP Edisi 82 Tahun 2023