PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK : SEJAUH MANA MASYARAKAT BISA BERPERAN?

Posted By Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak | 09 Januari 2023


        Perkawinan anak masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sejak disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita, tren perkawinan anak naik signifikan. Menurut Data Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, pada tahun 2019 terdapat 24.864 perkara dispensasi kawin yang masuk. Angka tersebut meningkat lebih dari 100% pada tahun 2020 menjadi 64.196 perkara. Bahkan, menurut estimasi UNICEF, angka tersebut dapat mencapai 2.000.000 perkara apabila semua orang tua mengikuti UU yang baru.

        Di Kabupaten Lamongan sendiri, angka perkawinan anak cenderung meningkat setelah tahun 2020. Pada tahun 2020, terdapat 415 perkara dispensasi kawin, yang kemudian meningkat menjadi 423 pada tahun 2021. Sementara itu, pada tahun 2022, per November sudah melampaui angka 2021, yakni 433 perkara. Data ini menunjukkan bahwa selain faktor penaikan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, juga ada faktor lain yang membuat angka perkawinan anak meningkat.

        Faktor-faktor apa sajakah yang membuat orang tua mengajukan dispensasi kawin? Menurut data Yayasan Kesehatan Perempuan, alasan orang tua di antaranya adalah anak hamil sebelum menikah, kemiskinan, pendidikan, dan sosial dan budaya. Sementara itu, bila dilihat dari data penelitian AIPJ2 (Australia Indonesian Partnership for Justice 2) tentang Analisis Putusan Dispensasi Perkawinan tahun 2018, ada beberapa alasan dengan rincian sebagai berikut: anak perempuan hamil (31%), kedua anak sudah mencintai (25%), anak berisiko melanggar nilai agama (21%), anak sudah melakukan hubungan seksual (16%), anak melanggar nilai sosial (8%), dan anak berisiko dalam hubungan seksual (4%). Membandingkan data-data tersebut, penulis berpendapat ada 5 faktor penyebab perkawinan anak, yaitu faktor ekonomi, faktor agama, faktor budaya, faktor pendidikan, dan faktor kerentanan siber.

        Pertama, faktor ekonomi. Keterbatasan ekonomi membuat orang tua tidak dapat memberikan pendidikan ke anak. Akibatnya, anak putus sekolah. Setelah putus sekolah ini, biasanya orang tua menikahkan anaknya. Pada beberapa kasus, bahkan menganggap menikahkan anak artinya mengurangi beban dalam rumah tangga. Apalagi di situasi pandemi pada tahun 2020-2021, mencari pekerjaan semakin sulit. Menikahkan anak dianggap jadi pilihan agar tidak memberatkan.

        Kedua, faktor agama. Sebagian orang tua menikahkan anaknya karena alasan agama, salah satunya adalah menghindari zina. Mereka beranggapan bahwa bila sudah berpacaran, akan ada kemungkinan buruk melakukan zina. Maka dari itu lebih baik dinikahkan. Bahkan, di sebuah daerah ada kebiasaan, bila ada lawan jenis berduaan tanpa ada ikatan, maka harus dinikahkan. Hal ini lah yang membuat beberapa anak terpaksa dinikahkan padahal belum siap. Dalam hal ini, agama sebenarnya dapat menjadi faktor protektif agar anak terhindar dari zina, yang mana solusinya tidak harus dengan dinikahkan mengingat belum cukup umur.

        Ketiga, faktor budaya. Tak dapat dipungkiri, budaya patriarki masih kental di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai beban. Bila tidak segera menikah, ada sebutan perawan tua. Seolah pencapaian anak perempuan adalah menikah. Maka dari itu, bila ada yang melamar, meski masih usia anak, tetap dipaksakan karena menganggap kodrat perempuan adalah menikah lalu menjadi ibu rumah tangga.

         Keempat, faktor pendidikan. Perkawinan anak banyak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Anak sudah terlanjur hamil akibat perilaku seksual berisiko. Akibatnya, orang tua tidak punya pilihan lain selain menikahkan agar nasib anak dalam kandungan ada yang bertanggung jawab secara hukum. Hal ini tidak mungkin terjadi bila anak mendapatkan pendidikan seksual yang cukup.

        Kelima, faktor kerentanan siber. Kemajuan teknologi internet selain membuka peluang, juga menjadi risiko ancaman bagi anak. Di dunia siber, anak rentan mengalami online child grooming, yaitu ketika orang dewasa menjalin hubungan dengan anak secara daring dengan tujuan memanipulasi anak secara seksual. Beberapa kasus menunjukkan, KTD bermula dari anak berkenalan dengan orang asing di media sosial, menjalin hubungan romantis, lalu anak dimanipulasi untuk berhubungan seksual. Karena anak hamil, akhirnya terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya.

 

Peran Masyarakat

        Dalam mencegah perkawinan anak, peran masyarakat tak bisa dilepaskan. Masyarakat dapat membantu mengurangi risiko perkawinan anak dengan menyentuh faktor-faktor yang penulis sebutkan sebelumnya. Ada banyak aktor yang dapat terlibat dalam upaya-upaya pencegahan perkawinan anak. Penulis membaginya menjadi 3 kelompok, yakni masyarakat secara umum, orang tua, dan dari anak sendiri.

        Pertama, aktor dari masyarakat umum. Di tingkat Desa/Kelurahan, ada sebuah wadah yang dibentuk oleh Pemerintah Desa/Kelurahan yang khusus bergerak dalam perlindungan anak. Wadah tersebut bernama Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Di Kabupaten Lamongan, dari 474 desa/kelurahan, sudah ada 446 yang membentuk PATBM. Artinya, potensi PATBM ini sangat besar dalam upaya mencegah perkawinan anak di level desa/kelurahan.

        PATBM sebagai wadah resmi dari Pemerintah Desa berperan penting dalam mencegah perkawinan anak. PATBM memiliki fungsi dalam mensosialisasikan dan mengadvokasikan hak-hak anak di akar rumput. Karena bersentuhan langsung dengan masyarakat, PATBM dapat melakukan deteksi dini pada orang tua yang berpotensi menikahkan anak di bawah umur. Dengan deteksi dini inilah, PATBM dapat mengambil aksi yang dibutuhkan untuk mencegah perkawinan anak itu terjadi. Beberapa hal yang dapat dilakukan PATBM di antaranya adalah memberikan edukasi mengenai pentingnya pendewasaan usia perkawinan kepada masyarakat, mendengarkan alasan orang tua yang akan melangsungkan perkawinan anak, menawarkan solusi agar orang tua menunda perkawinan anaknya, contoh: menawarkan bantuan sosial, menawarkan beasiswa pendidikan, membantu menghubungkan dengan psikolog, dll.

        Selain PATBM, peran tokoh agama (toga) juga tak kalah penting. Di Indonesia, agama memegang peranan penting dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tokoh agama juga menjadi sentral dalam acuan mana perilaku yang baik dan tidak. Dalam hal ini, tokoh agama perlu mengampanyekan pentingnya pendewasaan usia perkawinan di berbagai kesempatan, seperti khutbah jumat, khutbah tarawih, pengajian, pendidikan di TPQ dll. Peran tokoh agama sangat penting mengingat apa yang disampaikan oleh mereka akan lebih dipercaya dan dijadikan pegangan oleh masyarakat.

        Selain tokoh agama, tokoh masyarakat (toma) juga memiliki peran yang vital. Tokoh masyarakat adalah sosok yang dikenal dan memiliki pengaruh di masyarakat, seperti perangkat desa, priyayi, orang yang dituakan, serta sosok yang dianggap berilmu. Tokoh masyarakat dapat membentuk opini masyarakat tentang betapa perkawinan anak adalah hal yang memiliki banyak dampak buruk dan harus dihindari. Bila hal ini terus dikampanyekan, maka pendewasaan usia perkawinan anak akan menjadi norma baru dalam masyarakat.

        Tokoh agama dan tokoh masyarakat juga memiliki posisi penting dalam mengikis budaya patriarki di masyarakat. Pandangan masyarakat perlu diubah bahwa perempuan tidak harus menjadikan menikah sebagai pencapaian hidup, melainkan sebuah pilihan yang harus direncanakan dengan matang. Perempuan harus diberdayakan agar mampu mandiri secara ekonomi, sehingga tidak ada lagi orang tua yang menganggap memiliki anak perempuan adalah beban. Laki-laki atau perempuan dianggap setara, sama-sama berhak menentukan yang terbaik untuk hidupnya, tak ada tekanan sosial untuk menikah muda.

 

Peran Orang Tua

        Orang tua wajib paham dan memenuhi hak anak. Perkawinan anak adalah jelas bentuk pelanggaran hak-hak anak. Salah satu hak yang dilanggar adalah hak tumbuh kembang. Orang tua perlu memberikan ruang tumbuh kembang sebaik mungkin untuk anak, salah satunya adalah dengan pendidikan dan kasih sayang. Dengan pendidikan yang baik, anak akan paham mengenai pentingnya perencanaan perkawinan dengan matang. Dengan kasih sayang yang cukup, anak tidak akan jatuh ke dalam perilaku seksual berisiko yang menyebabkan KTD. Ada banyak sekali kasus KTD terjadi karena anak kurang perhatian dari orang tua. Akibatnya, anak mencari kasih sayang dari sumber yang lain, yaitu pacarnya. Hal ini yang berisiko membuat anak melakukan apapun agar tidak kehilangan pacarnya, salah satunya berhubungan seksual. Oleh karena itu, penting sekali orang tua memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup agar anak tidak jatuh pada perilaku seksual yang berisiko, atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual.

        Untuk mencegah terjadinya KTD, pendidikan seksual adalah hal yang penting. Orang tua sebagai sosok terdekat anak perlu mengenalkan apa saja perilaku seksual yang berisiko dan wajib dihindari; bagaimana cara menjaga keamanan diri agar tidak jatuh pada perilaku berpacaran yang tidak sehat. Anak perlu mengenal organ-organ seksualnya, batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, bagaimana kehamilan itu terjadi, risiko kesehatan apabila terjadi kehamilan, dan bahaya kekerasan seksual yang perlu diwaspadai. Bila ini semua sudah dipahami anak, maka kasus perkawinan anak karena KTD dapat ditekan.

 

Partisipasi Forum Anak

        Forum anak adalah organisasi anak yang menjadi penghubung antara pemerintah dan anak agar hak anak senantiasa terpenuhi. Mereka lah yang paling berhak bersuara tentang kebutuhan anak. Sebagai pelopor, forum anak dapat mengampanyekan hak-hak anak agar dipenuhi oleh pemangku kepentingan terkait. Forum Anak dapat menyuarakan agar Pemerintah membuat kebijakan pencegahan perkawinan anak. Misalnya, di tingkat desa, Forum Anak dapat mendorong agar Pemerintah Desa membuat Peraturan Desa mengenai larangan perkawinan anak. 

        Forum Anak juga dapat berperan sebagai konselor sebaya untuk teman-temannya yang berisiko mengalami perkawinan anak; menjadi teman berbagi mengenai pentingnya menunda usia perkawinan kepada anak-anak lainnya. Melalui konselor sebaya, diharapkan anak tidak malu-malu untuk menceritakan masalahnya terkait perkawinan anak. Konselor sebaya juga dapat membantu memberikan advokasi ke Pemerintah Desa agar orang tua yang hendak mengawinkan anaknya menunda rencananya tersebut.

        Beberapa anak ada yang memang dipaksa untuk menikah oleh orang tuanya. Ini jelas adalah pelanggaran hak anak. Forum Anak sebagai wadah suara anak, dapat melaporkan kejadian ini ke stakeholder terkait, seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak). Dengan adanya laporan ini, P2TP2A dapat memberikan intervensi ke orang tua yang dilaporkan, berupa konseling dan advokasi hak anak. Semakin banyak partisipasi anak dalam melaporkan, maka akan ada banyak kasus pemaksaan anak menikah dapat dicegah. Di Kabupaten Lamongan, anak-anak dapat melaporkan kasus kekerasan yang dialami atau diketahui ke “SPIKER PERAK” (Sistem Pengaduan Online Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak) melalui nomor WA 0812-7677-0778.

 

Butuh Sinergi Semua Pihak

        Masyarakat punya potensi yang sangat besar dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Tetapi, semuanya tidak akan efektif bila berjalan sendiri-sendiri. Upaya ini perlu dibuat lebih terstruktur dan masif agar tercapai percepatan dalam pencegahan perkawinan anak. Dalam hal ini Pemerintah Daerah perlu mengonsolidasikan dan menguatkan kerjasama antar pemangku kepentingan agar peran masyarakat dapat lebih dioptimalkan. Komitmen anggaran dan monitoring secara disiplin dapat memperkuat upaya ini. Juga, kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD), maupun antar OPD dengan stakeholder terkait perlu ditingkatkan.


Oleh : Etik Sulistyani, S.Sos.MSi