DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK - Arsip Artikel
PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK : SEJAUH MANA MASYARAKAT BISA BERPERAN?
Perkawinan anak masih menjadi masalah serius di
Indonesia. Sejak disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia perkawinan
menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita, tren perkawinan anak naik signifikan.
Menurut Data Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, pada tahun 2019 terdapat 24.864
perkara dispensasi kawin yang masuk. Angka tersebut meningkat lebih dari 100%
pada tahun 2020 menjadi 64.196 perkara. Bahkan, menurut estimasi UNICEF, angka
tersebut dapat mencapai 2.000.000 perkara apabila semua orang tua mengikuti UU
yang baru. Di
Kabupaten Lamongan sendiri, angka perkawinan anak cenderung meningkat setelah
tahun 2020. Pada tahun 2020, terdapat 415 perkara dispensasi kawin, yang kemudian
meningkat menjadi 423 pada tahun 2021. Sementara itu, pada tahun 2022, per
November sudah melampaui angka 2021, yakni 433 perkara. Data ini menunjukkan
bahwa selain faktor penaikan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, juga ada
faktor lain yang membuat angka perkawinan anak meningkat. Faktor-faktor
apa sajakah yang membuat orang tua mengajukan dispensasi kawin? Menurut data
Yayasan Kesehatan Perempuan, alasan orang tua di antaranya adalah anak hamil
sebelum menikah, kemiskinan, pendidikan, dan sosial dan budaya. Sementara itu,
bila dilihat dari data penelitian AIPJ2 (Australia Indonesian Partnership for
Justice 2) tentang Analisis Putusan Dispensasi Perkawinan tahun 2018, ada
beberapa alasan dengan rincian sebagai berikut: anak perempuan hamil (31%), kedua
anak sudah mencintai (25%), anak berisiko melanggar nilai agama (21%), anak
sudah melakukan hubungan seksual (16%), anak melanggar nilai sosial (8%), dan
anak berisiko dalam hubungan seksual (4%). Membandingkan data-data tersebut,
penulis berpendapat ada 5 faktor penyebab perkawinan anak, yaitu faktor
ekonomi, faktor agama, faktor budaya, faktor pendidikan, dan faktor kerentanan
siber. Pertama,
faktor ekonomi. Keterbatasan ekonomi membuat orang tua tidak dapat memberikan
pendidikan ke anak. Akibatnya, anak putus sekolah. Setelah putus sekolah ini,
biasanya orang tua menikahkan anaknya. Pada beberapa kasus, bahkan menganggap
menikahkan anak artinya mengurangi beban dalam rumah tangga. Apalagi di situasi
pandemi pada tahun 2020-2021, mencari pekerjaan semakin sulit. Menikahkan anak
dianggap jadi pilihan agar tidak memberatkan. Kedua,
faktor agama. Sebagian orang tua menikahkan anaknya karena alasan agama, salah
satunya adalah menghindari zina. Mereka beranggapan bahwa bila sudah
berpacaran, akan ada kemungkinan buruk melakukan zina. Maka dari itu lebih baik
dinikahkan. Bahkan, di sebuah daerah ada kebiasaan, bila ada lawan jenis
berduaan tanpa ada ikatan, maka harus dinikahkan. Hal ini lah yang membuat
beberapa anak terpaksa dinikahkan padahal belum siap. Dalam hal ini, agama
sebenarnya dapat menjadi faktor protektif agar anak terhindar dari zina, yang
mana solusinya tidak harus dengan dinikahkan mengingat belum cukup umur. Ketiga,
faktor budaya. Tak dapat dipungkiri, budaya patriarki masih kental di masyarakat.
Perempuan dianggap sebagai beban. Bila tidak segera menikah, ada sebutan
perawan tua. Seolah pencapaian anak perempuan adalah menikah. Maka dari itu,
bila ada yang melamar, meski masih usia anak, tetap dipaksakan karena
menganggap kodrat perempuan adalah menikah lalu menjadi ibu rumah tangga. Keempat,
faktor pendidikan. Perkawinan anak banyak yang disebabkan oleh kehamilan yang
tidak diinginkan (KTD). Anak sudah terlanjur hamil akibat perilaku seksual
berisiko. Akibatnya, orang tua tidak punya pilihan lain selain menikahkan agar
nasib anak dalam kandungan ada yang bertanggung jawab secara hukum. Hal ini
tidak mungkin terjadi bila anak mendapatkan pendidikan seksual yang cukup. Kelima,
faktor kerentanan siber. Kemajuan teknologi internet selain membuka peluang,
juga menjadi risiko ancaman bagi anak. Di dunia siber, anak rentan mengalami online child grooming, yaitu ketika
orang dewasa menjalin hubungan dengan anak secara daring dengan tujuan
memanipulasi anak secara seksual. Beberapa kasus menunjukkan, KTD bermula dari
anak berkenalan dengan orang asing di media sosial, menjalin hubungan romantis,
lalu anak dimanipulasi untuk berhubungan seksual. Karena anak hamil, akhirnya
terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya. Peran Masyarakat Dalam
mencegah perkawinan anak, peran masyarakat tak bisa dilepaskan. Masyarakat
dapat membantu mengurangi risiko perkawinan anak dengan menyentuh faktor-faktor
yang penulis sebutkan sebelumnya. Ada banyak aktor yang dapat terlibat dalam
upaya-upaya pencegahan perkawinan anak. Penulis membaginya menjadi 3 kelompok,
yakni masyarakat secara umum, orang tua, dan dari anak sendiri. Pertama,
aktor dari masyarakat umum. Di tingkat Desa/Kelurahan, ada sebuah wadah yang
dibentuk oleh Pemerintah Desa/Kelurahan yang khusus bergerak dalam perlindungan
anak. Wadah tersebut bernama Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
(PATBM). Di Kabupaten Lamongan, dari 474 desa/kelurahan, sudah ada 446 yang
membentuk PATBM. Artinya, potensi PATBM ini sangat besar dalam upaya mencegah
perkawinan anak di level desa/kelurahan. PATBM
sebagai wadah resmi dari Pemerintah Desa berperan penting dalam mencegah
perkawinan anak. PATBM memiliki fungsi dalam mensosialisasikan dan
mengadvokasikan hak-hak anak di akar rumput. Karena bersentuhan langsung dengan
masyarakat, PATBM dapat melakukan deteksi dini pada orang tua yang berpotensi
menikahkan anak di bawah umur. Dengan deteksi dini inilah, PATBM dapat
mengambil aksi yang dibutuhkan untuk mencegah perkawinan anak itu terjadi. Beberapa hal yang dapat dilakukan PATBM di antaranya
adalah memberikan edukasi mengenai pentingnya pendewasaan usia perkawinan
kepada masyarakat, mendengarkan alasan orang tua yang akan melangsungkan
perkawinan anak, menawarkan solusi agar orang tua menunda perkawinan anaknya,
contoh: menawarkan bantuan sosial, menawarkan beasiswa pendidikan, membantu
menghubungkan dengan psikolog, dll. Selain
PATBM, peran tokoh agama (toga) juga tak kalah penting. Di Indonesia, agama
memegang peranan penting dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tokoh agama
juga menjadi sentral dalam
acuan mana perilaku yang baik dan tidak. Dalam hal ini, tokoh agama perlu
mengampanyekan pentingnya pendewasaan usia perkawinan di berbagai kesempatan,
seperti khutbah jumat, khutbah tarawih, pengajian, pendidikan di TPQ dll. Peran
tokoh agama sangat penting mengingat apa yang disampaikan oleh mereka akan
lebih dipercaya dan dijadikan pegangan oleh masyarakat. Selain
tokoh agama, tokoh masyarakat (toma) juga memiliki peran yang vital. Tokoh
masyarakat adalah sosok yang dikenal dan memiliki pengaruh di masyarakat,
seperti perangkat desa, priyayi, orang yang dituakan, serta sosok yang dianggap
berilmu. Tokoh masyarakat dapat membentuk opini masyarakat tentang betapa
perkawinan anak adalah hal yang memiliki banyak dampak buruk dan harus
dihindari. Bila hal ini terus dikampanyekan, maka pendewasaan usia perkawinan
anak akan menjadi norma baru dalam masyarakat. Tokoh
agama dan tokoh masyarakat juga memiliki posisi penting dalam mengikis budaya
patriarki di masyarakat. Pandangan masyarakat perlu diubah bahwa perempuan
tidak harus menjadikan menikah sebagai pencapaian hidup, melainkan sebuah
pilihan yang harus direncanakan dengan matang. Perempuan harus diberdayakan
agar mampu mandiri secara ekonomi, sehingga tidak ada lagi orang tua yang
menganggap memiliki anak perempuan adalah beban. Laki-laki atau perempuan
dianggap setara, sama-sama berhak menentukan yang terbaik untuk hidupnya, tak
ada tekanan sosial untuk menikah muda. Peran Orang Tua Orang tua wajib paham dan memenuhi hak anak. Perkawinan
anak adalah jelas bentuk pelanggaran hak-hak anak. Salah satu hak yang
dilanggar adalah hak tumbuh kembang. Orang tua perlu memberikan ruang tumbuh
kembang sebaik mungkin untuk anak, salah satunya adalah dengan pendidikan dan
kasih sayang. Dengan pendidikan yang baik, anak akan paham mengenai pentingnya
perencanaan perkawinan dengan matang. Dengan kasih sayang yang cukup, anak
tidak akan jatuh ke dalam perilaku seksual berisiko yang menyebabkan KTD. Ada
banyak sekali kasus KTD terjadi karena anak kurang perhatian dari orang tua.
Akibatnya, anak mencari kasih sayang dari sumber yang lain, yaitu pacarnya. Hal
ini yang berisiko membuat anak melakukan apapun agar tidak kehilangan pacarnya,
salah satunya berhubungan seksual. Oleh karena itu, penting sekali orang tua
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup agar anak tidak jatuh pada
perilaku seksual yang berisiko, atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual. Untuk
mencegah terjadinya KTD, pendidikan seksual adalah hal yang penting. Orang tua
sebagai sosok terdekat anak perlu mengenalkan apa saja perilaku seksual yang
berisiko dan wajib dihindari; bagaimana cara menjaga keamanan diri agar tidak
jatuh pada perilaku berpacaran yang tidak sehat. Anak perlu mengenal
organ-organ seksualnya, batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis,
bagaimana kehamilan itu terjadi, risiko kesehatan apabila terjadi kehamilan,
dan bahaya kekerasan seksual yang perlu diwaspadai. Bila ini semua sudah
dipahami anak, maka kasus perkawinan anak karena KTD dapat ditekan. Partisipasi Forum Anak Forum anak adalah organisasi anak yang menjadi penghubung antara
pemerintah dan anak agar hak anak senantiasa terpenuhi. Mereka lah yang paling berhak bersuara tentang kebutuhan anak. Sebagai
pelopor, forum anak dapat mengampanyekan hak-hak anak agar dipenuhi oleh
pemangku kepentingan terkait. Forum Anak dapat menyuarakan agar Pemerintah
membuat kebijakan pencegahan perkawinan anak. Misalnya, di tingkat desa, Forum
Anak dapat mendorong agar Pemerintah Desa membuat Peraturan Desa mengenai
larangan perkawinan anak. Forum Anak
juga dapat berperan sebagai konselor sebaya untuk teman-temannya yang berisiko
mengalami perkawinan anak; menjadi teman berbagi mengenai pentingnya menunda
usia perkawinan kepada anak-anak lainnya. Melalui konselor sebaya, diharapkan
anak tidak malu-malu untuk menceritakan masalahnya terkait perkawinan anak.
Konselor sebaya juga dapat membantu memberikan advokasi ke Pemerintah Desa agar
orang tua yang hendak mengawinkan anaknya menunda rencananya tersebut. Beberapa anak ada
yang memang dipaksa untuk menikah oleh orang tuanya. Ini jelas adalah
pelanggaran hak anak. Forum Anak sebagai wadah suara anak, dapat melaporkan
kejadian ini ke stakeholder terkait, seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak). Dengan
adanya laporan ini, P2TP2A dapat memberikan intervensi ke orang tua yang
dilaporkan, berupa konseling dan advokasi hak anak. Semakin banyak partisipasi
anak dalam melaporkan, maka akan ada banyak kasus pemaksaan anak menikah dapat
dicegah. Di Kabupaten Lamongan, anak-anak dapat melaporkan kasus kekerasan yang
dialami atau diketahui ke “SPIKER PERAK” (Sistem Pengaduan Online Kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak) melalui nomor WA 0812-7677-0778. Butuh Sinergi Semua Pihak
Masyarakat punya potensi yang sangat besar dalam
upaya pencegahan perkawinan anak. Tetapi, semuanya tidak akan efektif bila
berjalan sendiri-sendiri. Upaya ini perlu dibuat lebih terstruktur dan masif
agar tercapai percepatan dalam pencegahan perkawinan anak. Dalam hal ini Pemerintah Daerah perlu
mengonsolidasikan dan menguatkan kerjasama antar pemangku kepentingan agar
peran masyarakat dapat lebih dioptimalkan. Komitmen anggaran dan monitoring
secara disiplin dapat memperkuat upaya ini. Juga, kolaborasi antar Organisasi
Perangkat Daerah (OPD), maupun antar OPD dengan stakeholder terkait perlu ditingkatkan.Oleh : Etik Sulistyani, S.Sos.MSi