Sang Hyang Iwak kedapatan disebut dalam beberapa prasasti, salah satunya Prasasti Malambangan yang ditemukan di daerah Lamongan, “Pamūjā Hyang Iwak sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri Śrī Mahārāja.” Muhammad Yamin dalam Parwa II (1962) memperkirakan prasasti ini diterbitkan oleh Maharaja Kedua Majapahit, Jayanagara (1309-1328). Secara garis besar, berisi rasa terimakasih Jayanagara atas kontribusi penduduknya dalam menumpas pemberontakan di Malambangan. Rasa terimakasih itu diwujudkan dengan memberi anugerah sima, di samping itu restu pemujaan terhadap Sang Hyang Iwak dan benda-benda pembaktian menurut pahalanya.
Soekarto K. Atmodjo dalam Berkala Arkeologi (Vol. 3 No. 1, 1982) mencoba mengaitkan pemujaan itu dengan kebiasaan sebagian penduduk Lamongan yang tabu memakan ikan lele. Sementara Edi Triharyantoro dalam Berkala Arkeologi (Vol. 2 No. 2, 1994) berpendapat pemujaan itu menandai (sosok) Ikan mempunyai kedudukan tinggi pada masa Majapahit, bahkan sederajat dengan dewa-dewa dalam agama Hindu. Lebih jauh, pemujaan itu berkaitan dengan usaha legitimasi Jayanegara untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, melalui pengejewantahan diri sebagai titisan Dewa Wisnu dalam wujud Mastya-Avatara (Awatara Ikan).
Fakta menariknya, Jayanegara menggunakan mīnadhwayalanchana (lencana berbentuk dua ikan). “Hmm... kira-kira ikannya bandeng dan lele atau emas dan embak, yagesya?” Terlepas dari itu, Titi Surti Nastiti dalam Amerta (Vol. 31 No. 1, Juni 2013) menduga pemujaan tersebut menjadi penting bagi masyarakat Jawa Kuno, mungkin karena mereka yang memujanya sangat bergantung pada sungai untuk keberlangsungan hidupnya. Baik Prasasti Kusambyan (Abad ke-11±) maupun Tuhañaru (13 Desember 1323) yang menyebut pemujaan serupa, terletak tidak jauh dari Sungai Brantas. Demikian Prasasti Malambangan, letak temuannya tidak jauh dari Sungai Lamong dan Bengawan Solo.
© Lamongan Bercerita