Informasi 14 Februari 2023
Kemerdekaan
Indonesia dapat tercapai atas perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan
penjajah. Salah satu di antaranya terjadi pada 14 Februari 1945. Pada saat itu,
tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang dipimpin oleh Shodancho Soeprijadi
melakukan pemberontakan terhadap Jepang di Blitar.
Sejarah
Terbentuknya Pembela Tanah Air (PETA)
Jepang mulai
masuk ke wilayah Indonesia melalui Tarakan pada 11 Januari 1942. Perlahan,
wilayah-wilayah lain yang dikuasai Belanda jatuh ke tangan Jepang. Puncaknya,
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati tanggal
8 Maret 1942. Melalui perjanjian tersebut, Belanda resmi menyerahkan Hindia
Belanda kepada Jepang tanpa syarat.
Keberhasilan
Jepang mengalahkan Belanda disambut meriah. Memanfaatkan kesan yang baik di
mata rakyat, Jepang kemudian mengeluarkan banyak propaganda yang intinya
mendudukkan Jepang sebagai saudara tua yang membebaskan saudara muda dari
kolonialisme Barat. Untuk lebih menarik minat bangsa Indonesia, Jepang
mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih bersanding dengan bendera Hinomaru.
Namun, rentetan
kekalahan Jepang di Pasifik menjadikan urgensi untuk melibatkan rakyat di
wilayah jajahan menjadi semakin besar. Karena itu, Jepang membentuk berbagai
organisasi militer di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendukung militer
Jepang dalam usahanya berperang melawan Sekutu.
Pada Sidang
Parlemen Jepang ke-82 tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Jepang, Tojo
Hideki, menyampaikan akan melibatkan penduduk lokal dalam urusan pemerintahan
dalam negeri di Jawa (Lebra, 2010). Untuk itu, Jepang berencana untuk
mendirikan satuan militer yang beranggotakan penduduk lokal.
Untuk menarik
minat masyarakat, Dinas Intelijen Angkatan Darat Jepang (Beppan) memutuskan
agar permohonan untuk membentuk satuan militer tersebut dilakukan oleh orang
lokal sendiri. Pada akhirnya, Gatot Mangkupradja, seorang nasionalis dan juga
salah satu pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), mengirim surat kepada
Gunseikan pada 7 September 1943 untuk memohon agar bangsa Indonesia diizinkan
untuk membantu usaha militer Jepang.
Dukungan
terhadap pembentukan organisasi militer mengalir dari banyak tokoh nasional.
Karena itu, melalui Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima
Angkatan Darat ke-16 Jepang, Letjen Harada Kumakichi, PETA resmi terbentuk pada
3 Oktober 1943.
Pemberontakan
PETA di Blitar
Pembentukan
PETA memiliki pengaruh besar dalam peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia ke depannya. Melalui PETA, rakyat Indonesia memiliki kesempatan
menimba ilmu kemiliteran dan berperang yang baik. Meski demikian, banyak di
antara mereka yang tergabung dalam PETA memiliki permasalahan tersendiri dengan
tentara Jepang, salah satunya adalah Soeprijadi.
Soeprijadi
adalah seorang shodancho (komandan peleton) PETA yang bertugas di Blitar. Soeprijadi
merasa prihatin dan resah terhadap nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan
Jepang. Banyak dari rakyat yang menjadi romusha meninggal karena kelelahan,
kelaparan, dan penyakit. Menurut Nugroho Notosusanto (dalam Sato, 2015),
pengalaman peleton Soeprijadi dengan para romusha merupakan faktor utama yang
mengubah pandangan mereka terhadap Jepang.
Faktor lain
juga disebabkan oleh adanya diskriminasi terhadap prajurit pribumi yang
diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang meski berpangkat lebih rendah.
Namun, tekad bulat Soeprijadi untuk melakukan pemberontakan terhadap Jepang
datang setelah ayahnya, R. Darmadi, pulang dengan kondisi menyedihkan setelah
mengikuti kursus adminstrasi bagi para pangreh praja di Jakarta (Sato, 2015).
Perlawanan
terhadap Jepang dilakukan pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar. Tanggal
tersebut dipilih karena terdapat pertemuan antara anggota dan komandan PETA di
Blitar, sehingga harapannya terdapat anggota-anggota lain yang tertarik
bergabung dalam perlawanan.
Pada pukul
03.00, pasukan PETA melancarkan serangan dengan menembakkan mortir ke Hotel
Sakura, yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Markas Kempeitai
juga ditembaki senapan mesin. Pasukan PETA juga membawa banyak perlengkapan dan
logistik, termasuk persenjataan.
Jepang
bertindak cepat dalam mengatasi pemberontakan tersebut yang membuat Soeprijadi
gagal menggerakkan kesatuan lain untuk bergabung ke dalam pemberontakan. Selain
itu, Jepang juga mengetahui rencana pemberontakan, yang mana terlihat dari
gedung-gedung yang kosong. Jepang juga mengerahkan prajurit lokal untuk
menghentikan pemberontakan. Mengingat Soeprijadi memerintahkan untuk hanya
membunuh prajurit Jepang, langkah Jepang tersebut berhasil menghambat
pergerakan Soeprijadi dan pengikutnya.
Beberapa
prajurit PETA yang terlibat pemberontakan ditangkap dan diadili di Mahkamah
Militer Jepang di Jakarta. Dari 68 orang yang diadili, ada yang dihukum seumur
hidup dan ada yang dihukum mati. Beberapa
yang dipidana mati adalah dr. Ismail, Muradi, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan
Sudarmo (Nailufar, 2020). Dari yang terhukum tersebut, tidak ada nama
Soeprijadi.
Nasib
Soeprijadi sendiri tidak jelas nasibnya apakah masih hidup setelah peristiwa
tersebut atau telah tewas, baik dalam
pertempuran atau hukuman mati oleh Jepang. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945, Sukarno mengumumkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Namun, Soeprijadi tidak muncul sehingga digantikan oleh Imam Muhammad
Suliyoadikusumo.
Dampak
Pemberontakan PETA
Pemberontakan
PETA di Blitar menunjukkan adanya perubahan pandangan Indonesia terhadap
Jepang. Menurut Benedict Anderson (2009), pemberontakan tersebut menciptakan
suasana kecemasan di kalangan tentara Jepang di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
tidak adanya kecaman langsung dari militer Jepang dan keringanan hukuman
terhadap para prajurit PETA yang terlibat dalam pemberontakan.
Pemberontakan
ini juga meningkatkan keinginan untuk merdeka di kalangan prajurit PETA di
daerah lain. Di Rengasdengklok misalnya, daidan Rengasdengklok yang mendengar
kabar di Blitar mendorong beberapa prajuritnya untuk menculik Sukarno-Hatta
pada tanggal 16 Agustus 1945, yang berujung pada diproklamasikannya kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 (Lebra, 2010).
Referensi:
Anderson, B.R.O.G., 2009. Some Aspects of
Indonesian Politics under the Japanese Occupation, 1944-1945. Jakarta:
Equinox Publishing.
Lebra, J.C., 2010. Japanese-Trained Armies in
Southeast Asia. Singapura: ISEAS Publishing.
Nailufar, N.N., 2020. Pemberontakan PETA di Blitar. Kompas.
Tersedia di: https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar
(Diakses 13 Februari 2023).
Sato, S., 2015. War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945. New York: Routledge.