Informasi 20 Mei 2023
Tanggal 20 Mei tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yang dimaknai sebagai titik awal di mana bangsa Indonesia bangkit dan memiliki jiwa nasionalisme, dan rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Hari Kebangkitan Nasional juga merupakan momentum yang menimbulkan kesadaran bagi para pemuda untuk memperjuangkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Namun, apa yang melatarbelakanginya?
Politik Etis
Untuk mengetahui latar belakang dari Hari Kebangkitan Nasional, kita harus melihat kembali situasi politik sosial di Hindia Belanda pada saat itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menerapkan ‘Politik Etis’ sejak 17 September 1901. Penerapan Politik Etis ini mengawali era Pergerakan Nasional di Indonesia.
Penerapan Politik Etis ini merupakan akibat dari kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Johannes van den Bosch, untuk mengisi kembali kas Belanda yang kosong akibat dari Perang Diponegoro (1825-1830) dan Revolusi Belgia (1830).
Kebijakan tanam paksa ini merupakan kebijakan yang memaksa petani Hindia Belanda saat itu untuk menanam tanaman yang menjadi komoditi ekspor menguntungkan di pasar internasional, seperti teh, tembakau, kopi, dan tebu. Petani diwajibkan untuk menggunakan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman tersebut. Apabila petani tidak memiliki tanah, maka petani tersebut diwajibkan untuk bekerja di perkebunan pemerintah selama 66 hari.
Pada penerapannya, kebijakan tersebut mengalami penyimpangan, seperti pemanfaatan tanah yang melebihi dari aturan, gagal panen yang menjadi tanggung jawab petani, maupun bekerja lebih dari 66 hari bagi petani yang tidak memiliki sawah. Hal ini tentu merugikan rakyat Hindia Belanda, terlebih Belanda sendiri berhasil mengisi kembali kas negara yang kosong.
Kondisi rakyat Hindia Belanda tersebut banyak disentil oleh kaum liberal. Eduard Douwes Dekker mengkritik pemerintah kolonial melalui novelnya, Max Havelaar (1860), yang menggambarkan kesengsaraan rakyat pada saat itu (Nadia, 2022). Douwes Dekker menuntut kepada pemerintah Belanda agar lebih memerhatikan kehidupan rakyat jajahannya karena kejayaan negeri Belanda merupakan hasil keringat rakyat Hindia Belanda.
Butuh waktu lama untuk meyakinkan Belanda untuk mengubah kebijakannya. Barulah pada 1901, atas desakan Perdana Menteri Belanda, Abraham Kuypers, dan kabinetnya yang beraliran liberal, Ratu Wilhelmina kemudian menerapkan kebijakan Politik Etis sebagai upaya balas budi pemerintah Belanda kepada rakyat Hindia Belanda.
Politik Etis memiliki tiga program utama, yakni: (1) irigasi; (2) edukasi; dan (3) transmigrasi. Dari ketiga program tersebut, edukasi menjadi program yang memiliki dampak terbesar bagi perjalanan bangsa ini.
Berdirinya Budi Utomo
Penerapan politik etis ini memunculkan kaum bumiputra terpelajar yang nantinya akan menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Pada era ini, banyak bermunculan organisasi-organisasi pergerakan, baik yang bersifat kooperatif maupun radikal.
Salah satu organisasi pergerakan awal yang berdiri adalah Budi Utomo (BU), yang mana tanggal berdirinya kini ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. BU lahir dari gagasan Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang menginginkan agar dibentuk suatu perkumpulan yang membantu membiayai pendidikan pemuda bumiputra yang pandai namun tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan.
Pada 1907, Dr. Wahidin Soedirohoesodo berkeliling Jawa untuk mewujudkan gagasannya tersebut. Dalam perjalanannya, Dr. Wahidin singgah di STOVIA dan gagasannya mendapat tanggapan positif dari para siswa. Gagasan Dr. Wahidin acap kali dijadikan bahan diskusi para siswa STOVIA, khususnya mengenai pendidikan bagi kaum bumiputra.
Diskusi yang semakin intens menjadi para siswa STOVIA tersebut mengadakan pertemuan untuk mendirikan suatu perkumpulan. Dalam pertemuan yang berlangsung pada 20 Mei 1908, Soetomo mengemukakan gagasan dan cita-citanya terkait pendirian perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, transpirasi dari gagasan Dr. Wahidin sebelumya. Hasil dari pertemuan tersebut adalah berdirinya BU dan Soetomo menjadi ketuanya.
Berita pendirian BU menyebar hingga ke seluruh pulau Jawa. Antusiasme para pemuda yang tinggi menjadikan perlu untuk menyegerakan kongres. Kongres BU pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada 4 dan 5 Oktober 1908 dan dihadiri oleh pemuda dari berbagai daerah, pejabat keraton, para pejabat Belanda, dan para bupati Temanggung, Blora, dan Magelang (Marihandono, 2013).
Dalam kongres tersebut, ditetapkan bahwa tujuan BU adalah "Kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu)" (Pringgodigdo, 1986: 1 dalam Dienaputra, 2013).
Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dilihat bahwa BU tidak mengambil jalur radikal untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. Kepengurusan BU cenderung enggan untuk mengambil jalur politik sebagai sarana perjuangan. Sebuah kebijakan yang menjadikan BU tidak dilarang oleh pemerintah kolonial. Di sisi lain, hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan sebagian anggota sehingga banyak yang memilih keluar BU untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi yang lebih radikal.
Penetapan dan Makna Hari Kebangkitan Nasional
Pada tahun 1948, Indonesia yang baru merdeka dihadapkan dengan berbagai krisis. Belanda masih menganggap Indonesia sebagai wilayahnya dan enggan mengakui kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, muncul kelompok oposisi pemerintah yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, yang didukung oleh kelompok kiri.
Soekarno merasa bahwa Indonesia akan dilanda perpecahan antargolongan dan ideologi. Karena itu, diperlukan adanya simbol yang dapat mempersatukan rakyat dan mencegah perpecahan. Berdasarkan usulan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), berdirinya BU ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan di Yogyakarta, bersamaan dengan peringatan 40 tahun berdirinya BU. Posisi ini kemudian diperkuat oleh Presiden Soeharto melalui Keppres No 1 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Anon, 2019).
Penetapan tanggal berdirinya BU bukannya tidak mendapat kritikan. BU dinilai sebagai organisasi yang kooperatif dengan pemerintah kolonial dan tidak terjun berpolitik. Selain itu, BU juga dinilai terlalu Jawasentris karena lingkup keanggotaannya yang kurang inklusif.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa BU merupakan organisasi pergerakan yang memelopori dan memengaruhi organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Seperti Indische Partij yang didirikan oleh mantan anggota BU, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, bersama dengan Ernest Douwes Dekker. Terdapat pula Sarekat Islam, yang mana terdapat pengaruh dari Tirto Adhi Soerjo.
Dari sejarah, kita dapat belajar bahwa peringatan Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum untuk bangkit dan bersatu dalam membangun bangsa. Semangat kebangkitan mengajarkan untuk selalu melihat ke depan serta menghadapi tantangan dan persoalan terhadap keutuhan dan ketangguhan bangsa.
Referensi:
Anon, 2019. Dialektika Sejarah Budi Utomo. Tersedia di: https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/dialektika-sejarah-budi-utomo (Diakses 18 Mei 2023).
Dienaputra, R.D., 2013. Budi Utomo: Dulu, Kini, dan Esok. Dalam: Isnudi, ed. Makna Organisasi Boedi Oetomo untuk Hari Ini dan Esok (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tahun 2013). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Marihandono, D., 2013. Boedi Oetomo: Masih Relevankah untuk Masa Kini? Dalam: Isnudi, ed. Makna Organisasi Boedi Oetomo untuk Hari Ini dan Esok (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tahun 2013). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Nadia, Y., 2022. Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, dan Penyimpangannya. Kompas. Tersedia di: https://www.kompas.com/skola/read/2022/07/08/133000969/sistem-tanam-paksa-latar-belakang-aturan-dan-penyimpangannya?page=all#:~:text=Sistem%20tanam%20paksa%20adalah%20sistem,lain%20di%20luar%20Pulau%20Jawa. (Diakses 18 Mei 2023).