Informasi 04 November 2022
Linimasa media sosial beberapa waktu silam sempat diramaikan dengan kabar
mengenai perdebatan teritorial Pulau Pasir. Sebelumnya, Pemegang Mandat Hak
Ulayat Laut Timor, Ferdi Tanoni, menyatakan bahwa Pulau Pasir adalah bagian
dari wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Ferdi, bukti bahwa Pulau Pasir milik masyarakat adat NTT dapat
dilihat dari ditemukannya berbagai artifak dan makam leluhur Rote.
Sementara itu, warganet ramai memberikan reviu bintang 1 ke Pulau Pasir di
Google Maps. Mayoritas warganet mengomentari bahwa Pulau Pasir adalah milik
Indonesia dan menyuruh Australia untuk hengkang dari pulau tersebut.
Buntut dari ramainya isu ini membuat Kementerian Luar Negeri melakukan
klarifikasi terkait status Pulau Pasir. Melalui Direktur Jenderal Asia Pasifik
dan Afrika, Abdul Kadir Jailani, Kemenlu menegaskan bahwa Pulau Pasir adalah
milik Australia.
Kemenlu juga menyatakan bahwa dalam Deklarasi Juanda tahun 1957 yang
kemudian diundangkan melalui UU Nomor 4 Tahun 1960, menegaskan bahwa Pulau
Pasir tidak masuk dalam wilayah atau peta NKRI sejak tahun 1957 maupun dalam
peta-peta yang dibuat setelahnya.
Hal ini menarik untuk dijadikan pembahasan mengapa wilayah yang lebih dekat secara geografis dengan Indonesia, namun berada dalam wilayah administrasi negara lain.
Sejarah Penentuan Batas Wilayah Indonesia
Penentuan batas wilayah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi dan
kondisi internasional saat itu. Jepang yang menduduki Indonesia dan banyak
wilayah di Asia Tenggara lainnya mulai terdesak. Kekalahan demi kekalahan
dialami oleh Jepang di Pasifik.
Kekalahan tersebut membuat Perdana Menteri Jepang saat itu, Jenderal Koiso
Kuniaki, membuat sebuah pernyataan. Pernyataan yang dikenal sebagai Janji Koiso
tersebut berisikan tentang perjanjian bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan
kepada Hindia Timur (Indonesia) di kemudian hari.
Pernyataan tersebut tentunya dimaksudkan agar rakyat Indonesia bersedia membantu
Jepang dalam peperangan mereka (Rohayuningsih, 2009). Untuk lebih memikat hati
rakyat, Jepang mengizinkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan bendera Merah
Putih dikibarkan bersama dengan bendera Jepang.
Jepang juga membentuk Dokuritsu Junbi Chōsakai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 April 1945,
bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Shōwa, yang bertugas untuk mempersiapkan
usaha-usaha kemerdekaan Indonesia.
BPUPK sendiri bersidang selama dua kali yakni pada tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945 yang membahas mengenai rancangan dasar negara Indonesia merdeka. Dalam sidang pertama ini, lahir Pancasila yang digagas oleh Sukarno. Sidang kedua dilaksanakan pada 10-16 Juli 1945 yang salah satunya membahas mengenai batas wilayah Indonesia merdeka.
Dalam Risalah Sidang BPUPKI PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara,
tercatat beberapa pandangan para anggota sidang mengenai penetapan batas
wilayah negara, yakni:
1. Seluruh Hindia Belanda
2. Seluruh Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara,
Timor Portugis, dan Papua.
3. Seluruh Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara
Usulan pertama ini diusulkan oleh Mohammad Hatta. Dalam argumennya, Papua
adalah bangsa Melanesia sehingga berbeda dengan bangsa Indonesia. Hatta lebih
menerima Malaya dan Borneo Utara karena didasarkan atas kesamaan budaya. Namun,
tentu apabila rakyat di dua wilayah tersebut benar-benar menghendakinya.
Usulan pertama didasarkan pada hukum internasional yang berlaku,
yakni uti possidetis juris, yang mana digunakan untuk
menentukan batas wilayah sebuah negara yang sebelumnya dijajah. Artinya, batas
wilayah negara yang baru berdiri tersebut mengikuti batas wilayah ketika negara
tersebut masih dijajah.
Usulan kedua diusulkan oleh Mohammad Yamin. Dalam argumennya, Yamin
menggunakan pendekatan budaya sebagai justifikasi masuknya wilayah Semenanjung
Malaya sebagai bagian dari Indonesia.
Sementara untuk Papua, Yamin menggunakan pendekatan sejarah yang mana Papua
menjadi daerah perpindahan bangsa Indonesia (Wanderungsgebiet) yang
sebagiannya pernah menjadi bagian dari Tidore-Halmahera. Selama seribu tahun ke
belakang telah bersatu dengan tanah Maluku, sehingga menjadikan Papua juga
sebagai bagian dari Indonesia.
Usulan Yamin tersebut didukung oleh Sukarno. Menurutnya, dalam
kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca
menyebutkan bahwa wilayah Kerajaan Majapahit turut mencapai Papua. Bahkan,
Sukarno juga mengemukakan gagasan terkait Pan Indonesia yang turut mencakup
Filipina, meski pada akhirnya Sukarno memilih untuk mengakui kedaulatan Filipina.
Berdasarkan usulan-usulan yang ada, Ketua BPUPK, Radjiman Widyodiningrat,
kemudian mengadakan voting untuk menentukan batas wilayah ketika Indonesia
merdeka. Hasilnya, 39 dari 66 anggota setuju dengan usulan Yamin, bahwa
Indonesia nantinya akan mencakup Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor
Portugis hingga Papua.
Meski hasil sidang BPUPK kedua memutuskan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah Hindia Belanda yang lebih luas, tetapi pada perkembangannya tidak jadi diterapkan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Sukarno menemui Jenderal Terauchi Hisaichi untuk memberitahukan perkembangan dan hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang mana wilayah Indonesia hanya sebatas eks-Hindia Belanda saja, tidak lebih.
Berdasarkan kemufakatan para pendiri bangsa, wilayah Indonesia hanya terdiri dari eks-wilayah Hindia Belanda. Meski demikian, pada perkembangannya, wilayah-wilayah Indonesia mengalami pasang surut. Wilayah Indonesia bahkan baru mulai lengkap dengan wilayah eks-Hindia Belanda setelah hasil Pepera di Papua pada tahun 1969 memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia.
Sebuah Renungan
Para pendiri bangsa memiliki cita-cita besar untuk menyatukan seluruh
Nusantara, namun sadar apabila keinginan untuk memperbesar wilayah benar-benar
terlaksana, maka Indonesia tak ubahnya dengan negara-negara imperialis. Sebagai
bangsa yang beradab, Indonesia menghormati hukum internasional yang berlaku
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pendiri bangsa lebih
memilih untuk membatasi ego dan menghormati prinsip-prinsip hukum
internasional.
Karena itu, patut disayangkan ketika warganet membombardir Pulau Pasir dengan reviu buruk kendati Indonesia sendiri menegaskan kedaulatan Australia atas wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya masyarakat Indonesia untuk belajar mengenai sejarahnya dan memiliki literasi digital, karena nasionalisme yang tidak dibarengi dengan literasi hanya akan memunculkan nasionalisme buta yang akan berdampak buruk pada citra Indonesia di mata dunia internasional.
Referensi:
Pramudyani, Y.D., 2022. Kemlu Tegaskan Pulau Pasir Bukan Milik Indonesia. ANTARA News. Tersedia di: https://www.antaranews.com/berita/3207273/kemlu-tegaskan-pulau-pasir-bukan-milik-indonesia (Diakses 29 Oktober 2022)
Prastya,D., 2022. Warganet Indonesia Hujani Bintang 1 ke Ashmore Reef di Google Maps. Suara. Tersedia di: https://www.suara.com/tekno/2022/10/25/091637/warganet-indonesia-hujani-bintang-1-ke-ashmore-reef-di-google-maps (Diakses 29 Oktober 2022)
Rohayuningsih, H., 2009. Peranan BPUPKI dan PPKI dalam Mempersiapkan
Kemerdekaan Indonesia. Forum Ilmu Sosial, 36 (2). Semarang:
UNNES Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995. Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.